Posts Subscribe comment Comments

Bisnis RingTone Musik

Laba Dering tak Pernah Kering
Industri musik berbisnis suara dering
Kalangan industri musik mulai melirik bisnis ring tones yang menjanjikan keuntungan besar. Di mancanegara hal tersebut sudah berjalan dengan rapi, termasuk pembayaran royalti kepada sang artis penyanyi. Di Indonesia, bisnis ini mulai marak.

Bayangkan kalau di tempat umum tiba-tiba ponsel Anda berdering. Kalau deringnya cuma sekadar krang-kring atau bunyi-bunyi aneh yang diberikan produsen ponsel, sih, itu sudah ketinggalan zaman. Coba kalau dering ponsel Anda mengalunkan lagunya Jet bertitel Look What You Have Done yang kerap diputar di MTV. Bisa dipastikan semua mata akan memandang pada Anda.
Begitu juga kalau seseorang kebetulan menghubungi ponsel Anda dan harus menunggu Anda menjawab. Kalau nadanya cuma tut... tut... tut..., semua ponsel juga bisa. Belakangan, ada operator yang menyediakan jasa ring back tones sementara menanti jawaban Anda. "Lagunya pakai penyanyi, persis kalau kita mendengarkan kaset," ujar Marcella Dewi, Direktur Marketing Sony Music Entertainment Indonesia, yang juga turut dalam kerja sama dengan Telkomsel itu. Jadi, sembari sang relasi menanti ponsel diangkat, ia bisa mendengarkan alunan suara 10 to 5, Ada Band, atau Seurius. Tergantung Anda berlangganan lagu apa.
Layanan musik digital di dalam ponsel ini rupanya merupakan ladang bisnis yang sedap. Tengok saja, beberapa tahun lalu, saat ponsel mulai marak digunakan, paling-paling orang cuma bisa membikin ring tones sendiri dengan mencari nada di internet atau majalah. Itu pun nadanya masih monophonic karena produsen ponsel juga cuma mengeluarkan varian ponsel seperti itu.
Belakangan, produsen ponsel melengkapi produk mereka dengan fasilitas polyphonic, sekaligus dengan beberapa ring tones lagu yang populer. Tambah lagi, banyak kalangan sudah melirik peluang di bisnis ini. Hal itu terlihat dari penjualan ring tone lewat premium call atau lewat boks di pusat perbelanjaan. Mereka ini, tentu saja, menjual ring tones berupa lagu-lagu terkenal yang dibawakan artis ternama.
Rezekinya dibagi-bagi beberapa pihak
Itu sebabnya, industri rekaman lantas menganggap layanan musik digital sebagai peluang besar untuk mereka. Saat ini penjualan ring tones lewat boks di pusat perbelanjaan memang masih tampak, namun jumlah iklan yang menawarkan premium call menurun drastis. Posisinya digantikan oleh industri musik yang memasarkan ring tones bersuara artis mereka. Maka, nantinya suara ring tones tidak cukup sekadar polyphonic saja. "Di masa depan bakal ada true tones. Suaranya seperti kalau kita mendengarkan kaset saja," jelas Marcella.
Ario Swastanto Tamat, New Media & Mobile Manager PT Universal Music Indonesia, mengatakan bahwa besarnya pasar ring tone di Indonesia belum bisa dipastikan. Namun, di dunia, pasar ring tone saat ini mencapai US$ 4 miliar. Jumlah itu akan membengkak menjadi US$ 13 miliar pada 2008. Indonesia merupakan pasar yang kinclong lantaran salah satu pengguna ponsel terbanyak ada di Asia Tenggara. "Perkembangan teknologi ponsel lebih edan di Indonesia ketimbang Amerika," ujar Ario.
Hanya, ada perbedaan yang mencolok ketika industri musik mulai terjun ke bisnis ponsel. Jika pengusaha biasa membikin bisnis ring tones, bisa dipastikan sebagian besar pendapatan bakal masuk ke kantongnya sendiri. Menurut Ario, dalam bisnis ini, banyak pihak yang terlibat. Ada operator, Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) yang mewakili pencipta lagu, penerbit musik yang mewakili artis penyanyi, perusahaan content provider, serta perusahaan rekaman yang merekam lagu tersebut. Tak heran kalau pendapatan dari konsumen pun harus dibagi-bagi di antara mereka.
Saat ini umumnya perusahaan content provider yang resmi menjual ring tones dengan harga Rp 3.000 per lagu. Dari harga itu, Rp 350 adalah biaya SMS pada content provider. Lalu operator biasanya mendapat 50% dari sisa pendapatan. Selanjutnya ada mechanical royalty yang besarnya 10% atau sekitar Rp 500 kepada perusahaan rekaman, ada likeness fee pada penerbit musik sebesar 15%, yang terakhir adalah public performance fee kepada YKCI sebesar 6,25%. Menurut Ario, pengguna ponsel harus membayar public performance fee karena sifat ring tones adalah bunyi yang bisa didengar oleh orang lain. "Makanya dianggap sebagai public performance," ujarnya.
Adapun likeness fee tetap harus dibayar, karena bagaimana pun ring tones yang diperdengarkan selalu mengusung nama artis tertentu. Ario menunjuk artis Sum 41. "Kalau enggak ada Sum 41-nya kan enggak bakal laku," ujarnya. Tapi, meski rezekinya harus dibagi-bagi, tetap saja bisnis ini sangat menjanjikan untuk industri musik. Soalnya, satu industri tidak mungkin cuma memayungi satu artis atau hanya punya satu lagu andalan saja.
Ternyata ada sistem subsidi silang
Hal itu diamini Marcella, karena Sony Musik bekerja sama dengan beberapa perusahaan content provider. "Tapi, yang terbesar adalah Jatis," ujarnya. Mereka mengenakan tarif Rp 3.000 untuk nada monophonic dan Rp 5.000 untuk polyphonic. Permintaannya dalam sehari rata-rata mencapai 1.000 download. Permintaan itu bisa meledak kalau kebetulan ada event tertentu. Misalnya, setelah kompetisi AFI berakhir, permintaan download lagu Menuju Puncak bisa mencapai 3.000 sehari.
Masih ada peluang lain, yakni menjual ring back tones yang melibatkan lebih sedikit pihak. "Untuk ring back tones, kami bekerja sama langsung dengan operator," kata Marcella. Saat ini, di Indonesia, baru Telkomsel yang menyediakan jasa tersebut. Harga langganannya sebesar Rp 9.000 per satu lagu untuk sebulan. "Sekarang, pelanggannya sudah puluhan ribu," sambung Marcella.Adapun bagi perusahaan content provider, penyediaan ring tones merupakan salah satu aspek bisnis mereka saja. Pasalnya, "Content ini bentuknya banyak, enggak cuma ring tones. Ada kuis, horoskop, dan sebagainya," kata Darma Putra, Chief Operation Officer Iguana Technology, salah satu perusahaan content provider.
Iguana yang berkantor pusat di Singapura ini menjual ring tones, baik yang mono maupun poly. Darma mengakui bahwa jualan ring tones mono merupakan jual rugi. Namun, mereka tertolong oleh harga ring tones polyphonic yang lebih mahal. "Jadi, pembeli ring tones poly akan menyubsidi yang mono," katanya.
Belakangan, menurut Darma, penjualan ring tones di perusahaannya malah turun. Kalau dulu bisa menyumbang 70% dari pendapatan perusahaan, belakangan mereka mengalami penurunan pendapatan sampai 15% dari penjualan ring tones. Penyebabnya bukan karena pasarnya berkurang atau rezekinya harus terbagi ke banyak pihak, seperti operator dan industri musik. Tapi, "Karena market share kami diambil oleh pemain lain," ujarnya. Maklum, pemain di bisnis content provider juga bertambah dari hari ke hari.