Posts Subscribe comment Comments

Gurame Akan Tetap Ramai

Berbisnis ikan gurame diperkirakan akan tetap menarik, karena pasarnya masih luas. Pengalaman Julius Tirta Sendjaya membuktikan, permintaan pasar terkadang tak bisa dipenuhi. Kendati punya prospek, memahami kondisi riil praktek pasar gurame menjadi factor kritis dalam menjalankan bisnis ini.

Banyak yang mengatakan bahwa budidaya ikan adalah bisnis dengan high risk kendati dengan potential gain yang tinggi. Banyak sudah cerita di media massa mengenai peternak yang terpaksa gigit jari, pendapatan yang sudah hampir masuk kantong terlepas dari tangan karena kolam mereka diterjang banjir atau kena serangan penyakit mematikan. Namun faktanya tetap saja banyak menekuni usaha ini. Selidik punya selidik ternyata bisnis ini memang high risk, high profit.

Demikian seperti keterangan dari Julius Tirta Sendjaja, pemilik empang gurame di daerah Bogor. Berdasarkan perkiraan kasar, bahwa kebutuhan pasokan ikan gurame untuk wilayah Jabodetabek saja kurang lebih 10 ton per hari, atau sama dengan 300 ton dalam sebulan. Permintaan ini menurut Julius, semakin tahun akan semakin meningkat. Maka laki-laki yang meraih titel insinyur robotic ini optimis akan kemungkinan pengembangan usahanya. Terlebih dengan semakin meningkatnya kesadaran orang untuk memilih mengkonsumsi daging putih, hal ini semakin menambah semangatnya selama ini.

Sedangkan dari sisi besaran keuntungan (profit margin), secara umum budidaya ikan tersebut sangat menguntungkan. Meskipun dia mengakui tingginya resiko yang mungkin dialami. Bila usaha berjalan mulus, keuntungan yang diperoleh paling tidak sebesar 80% dari modal. Bayangkan, per bulan rata-rata ia menghasilkan 3 ton ikan, dengan harga ikan gurame berkisar antara Rp 20 ribu tiap kilogram, berarti uang sekitar Rp 60 juta masuk kantong. Sedangkan biaya operasional yang dikeluarkan per bulan “yak lebih” dari Rp 10-15 juta. “Tetapi bila dua kali kita untung terus sekalinya rugi, saya katakan belum untung,” tukasnya.

Bahkan Uke, demikian ia kerap disapa, menceritakan bahwa bisnis perikanan yang dia kelola tidak serta-merta menghasilkan keuntungan seperti yang dibayangkan. Dia mulai menjalankan usaha ini pada tahun 1999, meski awalnya dari sekedar iseng. Sebelumnya laki-laki peraih gelar insinyur mesin robot ini sempat bekerja di Astra selama 3 tahun lamanya. Karena harus mengurusi orang tuanya yang sakit, ia keluar dari pekerjaan. “Pada saat sudah membaik dan saya akan bekerja lagi, orang tua saya malah minta bantuan buat mengurus perkebunan milik keluarga di Sukabumi, jadilah saya mengelola perkebunan dan empang ini,” tuturnya.

Lahan kolam ikan seluas 5 ha tersebut, awalnya adalah tanah keluarga yang tidak produktif. Mereka hanya mengupah orang untuk sekedar bersih-bersih. Maka berangkat dari sekedar coba-coba Uke, mengisi dengan bibit ikan mas. Dalam pikirnya paling tidak akan ada added value yang didapat dari tempat ini. Tetapi ternyata tidak segampang seperti dalam angan-angan. Ia rugi karena waktu itu belum punya pasar, sehingga harga ditekan oleh pemain lain. Penyebab lain pemain ikan mas sudah kelewat banyak, dan diperparah sistem pembayaran kurang jelas, sehingga tidak sedikit yang akhirnya tidak terbayar sampai sekarang.

Terlanjur basah, dari ikan mas, setahun berikutnya dia mencoba bisnis gurame. Disebabkan modal yang sudah cukup terkuras, dengan memilih usaha pembibitan, tidak perlu biaya pakan yang besar. Tetapi ternyata lagi-lagi ia salah perhitungan. Permintaan akan bibit ikan sifatnya hanyalah musiman, dengan begitu demand sangat tergantung pada pasar. Pada saat musim kering tidak ada yang membeli bibit ikan kepadanya. “Sementara pegawai mana mau mengerti, hingga akhirnya saya putuskan beralih ke konsumsi, selama orang masih makan, artinya mereka akan beli,” kenangnya.

Uke mengatakan bahwa pada tahun terakhir usahanya sudah mulai stabil. Meskipun pada saat memulai budidaya gurame ia bahkan belum memiliki pasar. Hanya dia yakin pasar gurame tidak sesulit ikan mas. Untuk mencari pembeli, pada awalnya juga mesti menawarkan produk kemana-mana. Selanjutnya, setelah ketemu pasarnya, tinggal berjalan menurut seleksi alam, artinya mana yang lebih menjanjikan pelayanan terbaik, akan lebih bisa diterima pasar. Apalagi dalam hal ini Uke punya prinsip yang menjadi pegangan bahwa dalam berbisnis orang tidak harus selalu menang. Satu kali kalah tidak apa-apa asalkan pada jangka long term sebuah hubungan bisnis bisa terjaga. “Baru, kalau dia sudah kita tolong tetapi tidak tahu balas budi, maka besok-besok kita tidak perlu menolong lagi,” ujarnya.
Salah satu contoh kerja sama saling menguntungkan dengan pembeli seperti di atas adalah, pada saat persediaan sedikit, padahal jumlah permintaan banyak, yang pertama kali diutamakan yaitu pelanggan baik. “Bila dia punya barang banyak lalu tidak mau ambil ke kita, maka giliran stok sedikit kita juga tidak perlu jual pada dia,” tuturnya.
Beban Uke semakin ringan karena saat ini dia tidak perlu setiap hari mengontrol empang miliknya. Pasalnya dia telah mempercayakan segala urusan kepada, Ivan, yang juga adik iparnya sendiri. “Awal-awal Pak Uke dapat pasar, saya terusin,” ujar sarjana Akuntansi Trisakti ini.

Berbicara menegenai pangsa pasar, Ivan membandingkan dengan ikan mas, menjual ikan gurame ibaratnya penjual bisa memilih pembeli. Sebaliknya kalau ikan mas si penjual yang mengejar-ngejar pembeli. “Di sisi lain, selama ini jumlah permintaan terhadap selalu lebih besar dari kemampuan menyediakan barang,” kata Ivan.
Padahal kalau hitung-hitungan harga, menurut Ivan, gurame jatuhnya lebih mahal. Alasannya dibutuhkan waktu lebih lama untuk pembesarannya dibandingkan dengan ikan mas, atau jenis-jenis ikan yang lain. Ikan lele, misalnya bisa panen dalam dua bulan, tetapi gurame dengan bobot 200 gram dibutuhkan sekitar 5 atau 6 bulan untuk mencapai berat jualnya, atau sekitar 5 atau 6 ons. Meskipun harga juga mengalami fluktuasi namun karena pasokan tidak sampai berlebihan, maka harga gurame menurut Uke relatif stabil.

Lama waktu yang dibutuhkan barangkali yang menjadi alasan mengapa tidak banyak orang mengambil resiko pada usaha ini. Padahal menurut Uke, justru di sinilah letak keunggulannya. Bila lele dengan turn over cepat, otomatis diperlukan kerja ekstra dalam pengelolaannya. Padahal dalam satu tahun, setelah dihitung, hasil keuntungannya tidak jauh berbeda.

Demikian pula untuk pengiriman pada saat memasarkan. Jenis-jenis ikan yang lain biasanya dilakukan pengiriman pada waktu malam hari, khususnya bila dikirim ke pasar-pasar tradisional. Sedangkan gurame yang menurut pengalaman Uke sudah kewalahan memenuhi kebutuhan restoran dan rumah makan, akan diambil oleh supplier pada siang hari. Dengan begitu tidak terlalu merepotkan baginya.

Melihat prospek yang cukup menjanjikan, maka ia tidak merasa ragu untuk meningkatkan omset produksi. Lebih-lebih diakui, selama ini dari seluruh lahan, baru 3 ha yang efektif, selebihnya belum produktif. Di samping itu cara lain dengan menambah kepadatan jumlah ikan yang ditanam pada tiap meter perseginya. Secara teori tingkat kepadatan ideal mencapai 18 ekor bibit per m2, sedangkan selama ini ia hanya mengisi dengan 10-12 ekor saja. “Kendalanya masih tentang ketersediaan modal dan sumber daya manusia (SDM),” ungkapnya.

Memang diakui, masih terdapat kendala lain, yaitu dalam memperoleh bibit. Bibit yang didapatkan dari petani sekitar, walau tidak selalu, acap tidak dapat memenuhi kebutuhan yang diharapkan dalam hal volume. Masalahnya pada saat bersamaan, terkadang berebut dengan peternak lain, sehingga kalau pun toh akhirnya diperoleh juga, mau tidak mau harga pasti naik. Untuk menjamin pasokan, ia tidak berani membayar bibit di muka, misalnya, sebab bisa-bisa uang hilang, ikan juga hilang. “Dalam bisnis ini, petani dan supplier banyak mengajari kita,” tandasnya. Pengalaman adalah guru terbaik, benar juga.

1

Anonim nyarios ... :

pak saya tinggal di daerah Tulugagung. di tempat saya banyak yang memelihara ikan gurami,..! bagai mana caranya agar saya bisa memasok ikan ke bapak?